Senin, 04 Juni 2012

POTENSI MANUSIA


POTENSI MANUSIA 


By : Syaifurrohman
1.     Ayat-ayat yang Berkaitan
a.      Surat Al-Hajj 46
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي اْلأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لاَتَعْمَى اْلأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُور.ِ
Artinya:maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mepunyai telinga yang dengan itu merek dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.”
b.      Suarat  al-Mu’minun 78
وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ قَلِيلاً مَّاتَشْكُرُونَ.
Artinya: “Dan dialah yang menciptakan bagi kamu sekalian pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur”.

c.       Suraat al-Isra’ 36
وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Artinya: “dan janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya”.
d.      Suarat as-Sajdah 9
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ قَلِيلاً مَّا تَشْكُرُونَ
Artinya: “ Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya roh (ciptaan)nya, dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.”

e.       Surat Ali ‘Imran 191
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَاخَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya: “ yaitu orang-oran yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan terbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ”ya tuhan kami tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka”.
f.       Surat al-Mulk 23
قُلْ هُوَ الَّذِي أَنشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ قَلِيلاً مَّاتَشْكُرُونَ
Artinya: “Katakanla, Dialah yang menciptakankamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.”

g.      Surat an-Nahl 78
وَاللهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.”

h.      Surat al-A’raf 185
أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ....
Artinya: “ dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi.....

i.        Surat al-Baqarah 170
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَآأَنزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَآأَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ أَوَلَوْكَانَ ءَابَآؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ.
Artinya: “ Dan apabila dikatakan kepad mereka “ ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab “tidak, tetapi kami telah mengikuti apa yang telah kami dapati  dari perbuatan nenek moyang kami, apakah mereka akan merngetaui juga walaupun nenek moyan gmereka itu tidak mengetahui suatu apapun  dan tidak mendapat petunjuk?.”

j.         Surat al-Baqarah 75
أَفَتَطْمَعُونَ أَن يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلاَمَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِن بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ.
Artinya: “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu  padahal segolongan dari mereka mendengar   firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, sedang mereka mengetahui.

k.      Surat az-Zumar 42
.....إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُون. َ
Artinya: “ ...Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”


l.        Surat an-Nahl 69
. ... إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “ ...Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”

m.    Surat an-Nahl 65
وَاللهُ أَنزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَحْيَابِهِ اْلأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَةً لِّقَوْمٍ يَسْمَعُونَ
Artinya: “dan Allah menurunkan dari langit air (hujan), dan dengan  air itu di hidupkannya bumi setelah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang mendengarkan  (pelajaran).”

2.     Pengertian potensi manusia
Potensi adalah kekuatan, kesanggupan, kemampuan kekuasaan, pengaruh, daya , kefungsian.[1] Jadi, potensi manusia adalah adalah kekuatan, kesanggupan, kemampuan kekuasaan, pengaruh, daya , kefungsian yang dimiliki manusia yang merupakan anugerah yang diberiakn oleh Allah SWT untuk  diimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Di dalam al-Qur’an Allah telah menyebutkan bahwa manusia itu memiliki potensi yang bermacam-macam. Potensi-potensi tersebut  antara lain:
1.      Berfikir (az-Zumar 42 danan-Nahl 69),
2.      Mengingat(Surat Ali ‘Imran 191),
3.      Memahami,( Surat al-Baqarah 75)
4.      Melihat (memperhatikan) (Surat al-A’raf 185)
5.      Mendengar (Surat an-Nahl 65)
Fithrah
      Dari  segi  bahasa,  kata  fithrah  terambil  dari  akar  kata al-fathr  yang  berarti belahan,  dan  dari  makna  ini lahir makna-makna lain antara lain "penciptaan" atau "kejadian".[2]
Konon sahabat Nabi, Ibnu Abbas tidak tahu  persis  makna  kata fathir pada ayat ayat yang berbicara tentang penciptaan langit dan bumi sampai ia mendengar pertengkaran  tentan  kepemilikan satu  sumur.  Salah  seorang  berkata, "Ana fathartuhu". Ibnu Abbas memahami kalimat ini dalam arti, "Saya  yang membuatnya pertama  kali."  Dan  dari situ Ibnu Abbas memahami bahwa kata ini digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak awal.
      Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak  semula  atau  bawaan sejak lahirnya.
Dalam  Al-Quran  kata  ini  dalam  berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali, empat belas diantaranya dalam konteks  uraian  tentang bumi  dan atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia  baik  dari  sisi pengakuan  bahwa penciptanya  adalah  Allah,  maupun  dari  segi uraian tentang fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu  pada  surat Al-Rum ayat 30:
         فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka  hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia  atas  fitrah  itu.  Tidak  ada perubahan  pada  fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
      Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat  ditarik kesimpulan bahwa manusia  sejak  asal  kejadiannya,  membawa potensi beragama yang lurus,  dan dipahami  oleh  para  ulama sebagai tauhid.
            Selanjutnya  dipahami  juga,  bahwa  fitrah  adalah bagian dan khalq (penciptaan) Allah.
Kalau kita memahami kata “la”  pada  ayat  tersebut  dalam  arti "tidak",   maka   ini berarti  bahwa  seseorang  tidak  dapat menghindar dari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa  fitrah  keagamaan  akan melekat pada diri manusia untuk selama  lamanya,  walaupun  boleh  jadi  tidak   diakui   atau diabaikannya.
      Tetapi  apakah  fitrah  manusia  hanya  terbatas  pada  fitrah keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja  karena  redaksi  ayat  ini tidak  dalam  bentuk  pembatasan  tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan  tentang  penciptann  potensi manusia  --walaupun  tidak  menggunakan  kata  fitrah, seperti misalnya:
 زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ.
Artinya: “Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati kepada perempuan (atau lelaki), anak lelaki (dari perempuan), serta harta yang banyak berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah lading”. (Ali 'Imran 14).
Karena itu Muhammad bin  Asyur dalam tafsirnya  tentang  surat  Al-Rum  30,  yang menyatakan bahwa: Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yanberkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani, akalnya dan ruhnya.[3]
Manusia berjalan dengan  kakinya  adalah  fitrah  jasadiahnya, sementara  menarik  kesimpulan  melalui  premis-premis  adala fitrah  akliahnya.  Senang  menerima  nikmat  dan  sedih  bila ditimpa musibah juga adalah fitrahnya.
 
3.     Beberapa Potensi Manusia
1. Akal
Kata Akal yang sudah menjadi kata Indonesia,  berasal dari kata arab, al- aqlu yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an sebagaimana yang telah dikatakan oleh Harun Nasution, kata al-aqlu hanya membawa bentuk kata kerjanya saja yaitu Aqoluh dalam 1 ayat, ta’qilun 24 ayat, na’qil 1 ayat,  ya’qiluha 1 ayat,  ya’qilun 22 ayat. Kata itu datang dalam arti pahan dam mengerti.[4] Sebagai contoh dapat dijumpai dalam al-Baqarah 75 dan 242,  al-Hajj 46,  al-mulk 10,  dan al-Ankabut 53.
Selain itu dalam al-Qur’an kata akal sering diidentikkan dengan kata lub jamaknya al-albab. Sehingga kata ulul albab dapat diartikan sebagai orang-orang yang berakal. Hal ini dapat dijumpai dalam ayat yang berbunyi:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لأَيَاتٍ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ 
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. yaitu orang-oran yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan terbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
Dalam ayat di atas terlahat bahwa orang yang berakal adalah orang yang melakukan 2 hal yaitu: tazdakkur yakni mengingat Allah dan tafakkur yakni meikirkan Allah. Sedangkan Imam Abi Alfida  mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ulul albab adalah orang yang  akalnya sempurna dan bersih  yang dengannya dapat ditemukan berbagai  keistimewaan dan keagungan mengenai sesuatu, tidak seperti orang yang buta dan gagu  yang tidak dapat berfikir.[5] Dari penjelasan ayat tersebut dapat di jumpai fungsi akal secara lebih luas lagi. Obyek-obyek yang difikirkan akal  dalam ayat tersebut adalah:
1)      Al-kholq yang berarti batasan dan ketentuan yang menunjukkkan adanya keteraturan dan ketelitian.
2)      As-Samawaat yaitu segala sesuatu yang ada di atas kita dan terlahat dengan mata kepala.
3)      Al-Ardl, yaitu tempat dimana kehidupan itu berlangsung di atasnya.
4)      Ikhtilaf al-lail wa an-nahar, yaitu pergantian siang dan malam secara beraturan.
5)      Al-ayat artinya dalil-dalil yang menunjukkan adanya Allah. [6]
Semua itu menjadi obyek atau sasaran  dimana akal memikirkan dan mengingatnya.
Dalam lisan Arab, al-aql berarti al hijr(yang menahan atau yang mengakang hawa nafsu),  al aql juga mengandung arti kebijaksanaan,  selanjutnya al-aql juga mengandung arti kalbu (al-qolb).[7]
 Beberapa pengertian akal diatas  diakibatkan adanya pengaruh dari pemikiran filsafat Yunani yang banyak menggunakan akal fikiran. Seluruh pengertian akal itu sendiri menunjukkan adanya potensi yang dimilikia oleh akal itu sendiri yaitu  selain berfungsi sebagai alat untuk mengingat, memahami, mengerti juga menahan, mengikat dan mengandalkan hawa nafsu.

2. Nafs
Kata   “Nafs”  dalam  Al-Quran  mempunyai  aneka  makna,[8]  sekali diartikan  sebagai  totalitas  manusia,  seperti  antara  lain maksud  surat  Al-Maidah  ayat  32,  ada kalanya ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang  menghasilkan tingkah laku seperti maksud kandungan firman Allah pada surat ar-ra’du ayat 11: 
إِنَّ اللهَ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَابِأَنفُسِهِمْ 
artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan satu masyarakat, sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka”.
Kata nafs digunakan juga untuk menunjuk kepada  "diri  Tuhaan" (kalau  istilah  ini dapat diterima), seperti dalam firman-Nya dalam surat Al-An'am: 19. 
ِ كَتَبَ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ
Artinya: Allah mewajibkan atas diri-Nya menganugerahkan rahmat.
Secara  umum  dapat  dikatakan  bahwa   nafs   dalam   konteks pembicaraan   tentang  manusia,  menunjuk  kepada  sisi  dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.
   Dalam pandangan Al-Quran, nafs diciptakan Allah dalam  keadaan sempurna  untuk  berfungsi  menampung  serta mendorong manusia berbuat kebaikan dari keburukan, dan  karena  itu  sisi  dalam manusia  inilah  yang  oleh  Al-Quran  dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.
وَنَفْسٍ وَمَاسَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
Artinya: Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwann (QS Al-Syams [91]: 7-8).
Mengilhamkan berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Di sini antara lain terlihat  perbedaan  pengertian  kata  ini menurut  Al-Quran  dengan  terminologi  kaum  sufi,  yang oleh Al-Qusyairi dalam risalahnya  dinyatakan  bahwa,  "Nafs  dalam pengertian  kaum  sufi  adalah  sesuatu  yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk." Pengertian  kaum  sufi  ini  sama dengan  penjelasan  Kamus  Besar Bahasa Indonesia, yang antara lain, menjelaskan arti kata nafsu, sebagai "dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik".
Walaupun Al-Quran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh pula isyarat  bahwa  pada  hakikatnya potensi  positif  manusia  lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih  kuat  dari  daya  tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya,
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan merugilah orang-orang yang mengotorinya (QS Al-Syams  9-10)
Menurut  pakar Al-Qu’an Muhammad Abduh_mengisyaratkan bahwa nafs pada hakikatnya lebih mudah melakukan hal-hal  yang baik   daripada   melakukan  kejahatan,  dan  pada  gilirannya mengisyaratkan bahwa manusia pada  dasarnya  diciptakan  Allah untuk melakukan kebaikan.[9]
Al-Quran  juga  mengisyaratkan   keanekaragaman   nafs   serta peringkat-peringkatnya,  secara  eksplisit  disebutkan tentang an-Nafs al-lawamah, ammarah, dan muthma’innah.
Di sisi lain  ditemukan  pula  isyarat  bahwa  nafs  merupakan wadah. Firman  Allah  dalam surat Al-Ra'd 11 yang dikutip di atas, mengisyaratkan  bahwa  nafs  menampung  paling  tidak gagasan dan  kemauan.  Suatu kaum tidak dapat berubah  keadaan lahiriahnya, sebelum mereka mengubah lebih dulu apa  yang  ada dalam  wadah  nafs-nya.  Yang  ada  di sini antara lain adalah gagasan dan kemauan atau tekad  untuk  berubah.  Gagasan  yang benar,  yang disertai dengan kemauan satu kelompok masyarakat, dapat mengubah keadaan masyarakat  itu.  Tetapi  gagasan  saja tanpa  kemauan,  atau  kemauan  saja  tanpa gagasan tidak akan menghasilkan perubahan.
Apa yang ada dalam nafs dapat juga muncul  dalam  mimpi,  yang oleh  Al-Quran  pada  garis  besarnya  dibagi dalam dua bagian pokok.  Pertamaa  dinamainya  ru'ya   dan   kedua   dinamainya adhghatsu  ahlam.  Yang pertama dipahami sebagai gambaran atau simbol dari peristiwa yang telah, sedang, atau  akan  dialami memimpikannya. Yang kedua lahir dan keresahan  atau  perhatian manusia  terhadap  sesuatu  dan  hal-hal  yang telah berada di bawah sadarnya. Dalam wadah nafs terdapat qalb.
 
3. Qalb
Kata qalb terambil  dari  akar  kata  yang  bermakna  membalik karena  seringkali  ia  berbolak-balik,  sekali  senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak. qa1b amat  berpotensi untuk  tidak  konsisten.  Al-Quran pun menggambarkan demikian,ada yang baik, ada pula sebaliknya. Berikut beberapa contoh.
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ.           
Artinya:  Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki kalbu, atau yang mencurahkan pendengaran lagi menjadi saksi (QS Qaf  37)
                                  . وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً 
Artinya:  Kami jadikan dalam kalbu orang-orang yang mengikuti (Isa a.s ) kasih sayang dan rahmat (QS Al-Hadid 27).
سُنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْب 
 Artinya: Kami akan mencampakkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut (QS Ali 'Imran 151).
حَبَّبَ إِلَيْكُمُ اْلإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ 
Artinya: Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menghiasinya indah dalam kalbumu (QS Al-Hujurat 7).
Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa kalbu adalah wadah  dari pengajaran,  kasih sayang, takut, dan keimanan. Dari isi kalbu yang  dijelaskan  oleh  ayat-ayat  di  atas   (demikian   juga ayat-ayat  lainnya),  dapat  ditarik  kesimpulan  bahwa  memang menampung hal-hal yang disadari  oleh  pemiliknya.  Ini merupakan salah satu perbedaan antara kalbu dan nafs. 
Dalam alqur’an syurat al-Hajj ayat 46  juga disebutkan kata “qulub” yang merupakan jama’ dari “qolb”,  pada ayat yang berbunyi  فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ , qolb disitu berfungsi untuk memehami (memahami adzab yang diberikan oleh Allah kepada para mukadzdzibin/orang-orang yang mendustakan nabi mereka seperti yang dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnyayaitu Adzab yang diberikan kepada kaum nabi Luth, kaum ‘Aad, Tsamud, dan lain-lain).
4.      Pendengaran
Dalam al-Qur’an surat an-Nahl 65 Allah  berfirman:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَةً لِّقَوْمٍ يَسْمَعُونَ         
Artinya: Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang mendengarkan  (pelajaran).”
Kataa يَسْمَعُونَ  di atas maksudnya adalah mendengarkan pelajaran dari berbagai kekuasaan Allah, yang diperlihatkan kepada manusia, antara lain Allah menurunkan hujan dari langit yang dengan air hujan itu Allah menghidupkan bumi setelah matinya (menumbuhkan tanaman-tanaman yang ada di Bumi sehingga Bumi terlihat subur).
Di ayat lain Allah berfirman:
 ” وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.
            Jadi  manusia harus menggunakan  telinga atau pendengarannya untuk bersyukur kepada Allah SWT dengan cara menggunakannya secara baik dan sesuai dengan syari’at agama Islam untuk mendapatkan ridlo dari Allah  sehingga dengan memanfaatkan sebaikmungkin  kita akan menjadi orang yang beriman kepada Allah (la’alakum tasykuruna ‘ala dzalika fat’minuna bihi)[10]

5.      Penglihatan
Dalam akhir surat al-Baqoroh 50 ada kalimat َ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ  
(dan kamu menyaksikan/melihat), kata yang berarti menyaksikan atau melihat itu mempunyai arti melihat dengan mata kepala[11]. Sehingga dalam ayat itu tidak ada makna konotasi di dalam kata melihat. Kata melihat di atas dikaitkan dengan peristiwa ketika Allah menenggelamkan pengikut-pengikut Fir’aun dan juga dibelahnya laut untuknya sebagai jalan untuk menyeberanginya.
Dalam Surat an-Nahl 78 Allah berfirman:
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.
Dari ayat al-Qur’an di atas dapat diambil pelajaran bahwa  manusia harus menggunakan  penglihatannya  untuk bersyukur kepada Allah SWT dengan cara menggunakannya secara baik dan sesuai dengan syari’at agama Islam untuk mendapatkan ridlo dari Allah  sehingga dengan memanfaatkan sebaikmungkin  kita akan menjadi orang yang beriman kepada Allah (la’alakum tasykuruna ‘ala dzalika fat’minuna bihi).
Wallahu a’lam bish-showab.

3. Implememtasi terhadap Pendidikan
Bahwa dalam merumuskan kurikulum pendidikan haruslah menyangkut materi-materi yang dapat memgembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didiknya supaya potensi-potensi yang dimiliki itu bisa berfungsi secara maksimal dan dapat menghasilkan produk yang berkualitas.
Seseorang harus berusaha mengolah dan melatih potensi-potensi yang dimilikinya agar suatu saat dapat ditemukan bakat yang tersimpan di dalam potensi yang ia miliki itu.
Seorang pendidik harus mampu memahami potensi anak didiknya sehingga dia dappat menentukan cara yang terbaik yang digunakan untuk menyampaikan materi  kepada ana didiknya.

4. Kesimpulan
Potensi adalah kekuatan, kesanggupan, kemampuan kekuasaan, pengaruh, daya , kefungsian. Jadi, potensi manusia adalah adalah kekuatan, kesanggupan, kemampuan kekuasaan, pengaruh, daya , kefungsian yang dimiliki manusia yang merupakan anugerah yang diberiakn oleh Allah SWT untuk  diimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang membahas potensi manusia antara lain Surat Al-Hajj 46, Surat an-Nahl 78, Suraat al-Isra’ 36, Suarat as-Sajdah 9, Surat Ali ‘Imran 191, Surat al-Mulk 23, Suarat  al-Mu’minun 78 dan lai-lain.
Diantara potensi-potensi yang dimiliki manusia adalah: akal, nafs, qolb (af’idah), sam’(pendengaran), abshor (penglihatan).
Manusia harus memenfaatkan potensi-poyensi yang dimilikinya sebagai alat untuk mencari ridlo Allah SWT  agar dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dunia pendidikan harus berusaha memberikan materii-materi yang dapat menunjang perkembangan potensi manusia menjadi lebih baik.
 
5. Penutup
Alhamdulillah, atas berkat rahmat Allah SWT kami dapat menyelesaikaan makalah yang berjudul “Potensi Manusia” ini. Kami yakin bahwasanya dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekarangannya. Oleh karena itu kami mohon kritik dan saran yang membangun agar makalah ini bisa menjadi awal perubahan menuju yang lebih baik lagi.







Daftar Pustaka
Al-Maraghi, Ahmad Musthofa. Tafsir Al- Maraghi, jilid 2, Mesir, Dar al-Fikr

An-Nisabury, Abi al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbabun Nuzul, Beirut,
Dar al-Fikr. 1991.
.

Hamid,Farida, Kamus Populer, Apollo, Surabaya, Tahun tidak tercantum .

Jalilain, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Cahaya Asia,

Shihab, M. Quraish, WAWASAN AL-QURAN ( Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Ummat, Mizan, Bandung, 2005.

Shihab, M. Quraish, TAFSIR AL-MISHBAH (pesan , kesan dan keserasian
Al-Qur’an), Lentera Hati, Jakarta, 2002.
 




[1] Farida Hamid, Kamus Populer, Apollo, Surabaya, Tahun tidak tercantum.
[2] M. Quraish Shihab, WAWASAN AL-QURAN ( Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Ummat),, Mizan, Bandung, 2005. hal. 283
[3] Ibid. hal 285
[4] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta, UI Press 1986. Hal. 5.
[5] Abi al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi an-Nisabury, Asbabun Nuzul, Beirut, Dar al-Fikr. 1991 M. hal. 92.
[6] Ahmad Musthofa Al-Maraghi. Tafsir Al- Maraghi, jilid 2, Mesir, Dar al-Fikr. hal 160
[7] Harun nasution, Op.Cit., hal. 6.
[8] M. Quraish Shihab. Op. Cit. hal 286
[9] M. Quraish Shihab. Op. Cit. hal 287
[10] Jalilain, Tafsir Al-Quran Al-Karim, Cahaya Asia. hal 222
[11] M. Qurqaish shihab, TAFSIR AL-MISHBAH (pesan , kesan dan keserasian Al-Qur’an), Lentera Hati, Jakarta, 2002. hal 193

Tidak ada komentar:

Posting Komentar